Jumat, 27 Maret 2020

Politik dan Kebijakan Pendidikan

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pendidikan Islam secara historis memiliki persambungan dengan misi yang diperjuangkan Nabi Muhammad Saw. Berdasarkan data yang tersedia, harus ditegaskan bahwa Islam lahir dan berkembang tidak dalam kevakuman dan tidak pula dalam ruang sunyi yang jauh dari ingar-bingar suasana dan peradaban kota. Setelah Nabi menerima wahyu pertama di Gua Hira pada usia ke-40, beliau tidak lagi berkunjung ke sana untuk selamanya, tetapi langsung terjun ke tengah masyarakat yang sudah sekian lama didera dan diimpit oleh ketidakadilan dan diskriminasi. Nabi Muhammad Saw. segera mengawali upaya-upaya dalam pemberdayaan umat di lingkungan keluarga terdekat, kemudian secara berangsur ke tengah publik.
Pertumbuhan dan perkembangan Pendidikan Islam yang ada di Indonesia, secara institusional tidak bisa terlepas dari peran para walisongo. Secara historis, para walisongo ternyata berkiprah melalui pesantrennya masing-masing. Sunan Ampel dengan Pesantren Ampelnya, Sunan Bonang dengan Pesantren Bonang di Tuban, Sunan Drajat dengan Pesantren Drajat Lamongan, Sunan Giri dengan Pesantren Giri di Gresik, dan sebagainya. Pesantren atau pondok pesantren telah menjelma sebagai satuan pendidikan sekaligus wadah pendidikan tertua yang khas dan asli Indonesia.
Dalam konteks perubahan zaman, perkembangan institusi pendidikan Islam tidak sepenuhnya bisa menghindar dari perubahan, sebagaimana pondok pesantren, lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya juga menganut prinsip continuity and change, atau dalam bahasa pesantrennya disebut al-muhafadhah alal qadim ash-shalih wal akhdzu bil jadid al-ashlah, institusi pendidikan Islam akan terus melakukan perubahan dan adopsi inovasi tetapi tetap mempertahankan tradisi yang baik dan bermanfaat.
Oleh karena itu, apa yang kita usahakan selama ini tidak akan pernah sia-sia. Jika flash back, maka yang kita lakukan secara historis adalah melanjutkan dan sekaligus mengembangkan apa yang telah dirintis oleh para pendahulu kita: Nabi Muhammad Saw., Sahabat, Tabiin, Tabiit Tabiin, Wali, Walisanga, Ulama, Zuama, guru kita, dan baru kita. Semangat api ini harus terus dikobarkan dan dikembangkan, karena inilah yang menjadi alasan utama mengapa eksistensi pendidikan Islam harus terus dikembangkan secara terencana dan sistematis dalam proses pengembangan karakter anak bangsa.

Rumusan Masalah
Untuk memudahkan penyusunan makalah ini, dibuatlah rumusan masalah sebagaimana berikut :
Apa pendidikan Islam dan trend perubahan kebijakan?
Apa pendidikan Islam dan keragaman tuntutan masyarakat?
Apa civil effect kebijakan pendidikan Islam?
Apa era baru dan kebijakan baru pendidikan Islam?

Tujuan
Untuk mengetahui pendidikan Islam dan trend perubahan kebijakan
Untuk mengetahui pendidikan Islam dan keragaman tuntutan masyarakat
Untuk mengatahui civil effect kebijakan pendidikan Islam
Untuk mengetahui era baru dan kebijakan baru pendidikan Islam

BAB II
PEMBAHASAN
Pendidikan Islam dan Trend Perubahan Kebijakan
Salah satu faktor eksternal yang ikut mendorong perubahan keberlangsungan  pendidikan  Islam di Indonesia adalah kebijakan negara yang menjadi landasan pengaturan sistem Pendidikan Nasional. Diskursus di lembaga legislatif  mengisyaratkan adanya faktor-faktor yang memberi warna dinamika pergulatan ide dan pemikiran dalam penetapan kebijakan negara. Namun, umumnya bukan muncul dari keragaman latar belakang, etnik, tapi lebih bersumber dari perbedaan orientasi dan cara pandang berkenaan dengan posisi dan peran agama dalam kehidupan bernegara.
Perbedaan cara pandang itulah yang juga mewarnai perdebatan dalam melahirkan kebijakan negara tentang pendidikan, terutama berkaitan dengan pendidikan Islam. Dalam perkembangan konstelasi politik bangsa  Indonesia pasca kemerdekaan, terjadi pergeseran terus-menerus dalam formula kekuatan politik di antara mereka yang mempunyai pandangan memberikan tempat terhadap peran agama dan mereka menegasikannya dalam kehidupan bernegara. Sejak masa akhir kekuasaan orde baru, arah pendulum politik makin memberikan posisi dan peluang bagi kekuatan politik yang berpandangan memberikan tempat bagi agama dan pendidikan Islam. Dengan kata lain, perkembangan dan perubahan dalam kebijakan negara ikut menghantarkan pendidikan Islam kepada kedudukan, format dan model yang seperti ada dewasa ini.
Selain itu, dari sudut pandang perubahan kebijakan, masa depan pendidikan islam bisa dipahami dan dideteksi dari sejumlah indikator yang bersifat normatif dan operasional, yakni: hasil Amendemen IV UUD 1945, UU Sisdiknas secara historis, dan peraturan pemerintah yang cukup memberikan apresiasi positif  terhadap penguatan peran pendidikan Islam.
Hasil Amendemen ke-4 UUD 1945 (10 Agustus 2002), pada pasal 31UUD 1945 ayat (3dan 5) mengamanatkan: (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang, dan (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Dari persepektif pendidikan islam, norma ini cukup memberikan jaminan konstitusi yang bisa mengawal prospek pendidikan Islam ke depan.
Dalam UU Sisdiknas, pasca kemerdekaan Indonesia telah mengalami tiga era, yaitu: era orde lama, era orde baru, dan era reformasi. Setiap era Indonesia melakukan perombakan secara sistemik sistem pendidikan nasional, karna UU No. 4/1950 (UU No. 12/1954) adalah produk zaman orde lama, UU No. 2/1989 adalah produk zaman orde baru, sedang UU No. 20/2003 adalah produk orde reformasi. Dari perspektif pendidikan Islam, posisi dan eksistensi pendidikan Islam dari waktu ke waktu semakin menguat. Pendidikan Islam jika dilihat dari ketentuan awal (UU No. 4/1950) belum diwajibkan (malah di bebaskan) menjadi diwajibkan (UU No. 2/1989 dan UU No. 20/2003). Dari diwajibkan dan menempati grade kedua setelah pendidikan pancasila, pendidikn agama selanjutnya pendidikan kewarganegaran (dalam UUNo. 2/1989) menjadi diwajibkan dan pendidikan agama menempati grade pertama, selanjutnya diikuti pendidikan kewarganegaraan dan bahasa (dalam UU No. 20/2003). Yang juga menggembirakan adalah bagi pesantren, pendidikan diniyah, mahad aly, majelis talim juga memperoleh pengakuan secara propesional.
Yang lebih menggembirakan dan memunculkan harapan baru bagi pendidikan islam ke depan adalah diundangkannya PP No.55 tahun2007 tentang pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. PP ini menjadi acuan operasional penyelenggaraan pendidikan Islam. Materi dan nilai-nilai pendidikan Islam kian menguat, pendidikan keagamaan seperti pesantren, madrasah diniyah, TPA/TPQ, dan majelis talim diakui eksistensinya. Bahkan Madrasah Diniyah, dengan syarat-syarat tertentu disetarakan, sehingga selain mengukuhkan eksistensi pendidikan Islam, juga memberikan harapan pendidikan Islam yang lebih cerah di masa depan.

Pendidikan Islam dan Keragaman Tuntutan Masyarakat
Perubahan zaman, perubahan kebijakan, memiliki korelasi dengan keragaman tuntutan dan harapan masyarakat. Setiap perubahan tidak akan mengenal henti, kebijakan inovatif akan terus dilakukan dan tuntutan masyarakat akan terus muncul dengan keragamannya. Kenyataan ini yang mewarnai gerakan reformasi 1998. Salah satu tuntutannya ialah perlunya reformasi dalam bidang pendidikan. Tuntutan itu, akhirnya diwujudkan melalui Amendemen IV UUD 1945 (10 Agustus 2002) dan disahkannya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tanggal 11 juni 2003.
Pemahaman tentang perubahan zaman, perubahan kebijakan, dan keragaman tuntutan masyarakat akhirnya menjadi penting untuk memotred trend pendidikan Islam dalam konteks yang terus berubah. Implikasi lebih lanjut, ke depan, pendidikan Islam akan terus mengalami upaya-upaya rekonstruksi, bahkan dekonstruksi. Lebih dari itu, ketika hasil rekonstruksi telah disepakati, ia secara otomotis telah menjelma sebagai konstruksi tahap kedua, dan akan terjadi lagi langkah-langkah dekonstruksi dan rekonstruksi, demikian seterusnya. Hal itu akan terjadi selama proses perubahan terus berlangsung, dan suatu proses perubahan terbukti tidak pernal mengenal henti. Konstruksi pendidikan Islam adalah sususnan dari suatu realitas objektif tentang pendidikan Islam yang telah diterima dan menjadi kesepakatan umum, meskipun didalam proses konstruksi itu tersirat dinamika sosial. Dekonstruksi pendidikan Islam terdasi disaat keabsahan realitas objektifnya di pertanyakan. Dari sinilah, kemudian, praktik-praktik baru pendidikan Islam mulai bermunculan, yang selanjutnya menyebabkan terjadinya proses rekonstruksi rekonseptualisasi pendidikan Islam.
Karena itu, prospek pendidikan Islam perlu dikaji ulang agar lebih berdaya saing dan lebih mencerahkan. Upaya ini penting, karena secara formal SDM umat Islam dibanding negara lain sangat tertinggi. Hasil kajian HDI, berapa jumlah doktor setiap satu juta penduduk? Di Indonesia = 63, Amerika = 6.500, Israel = 16.500, Prancis = 5.000, Jerman = 4.000, dan India = 1.500 orang. Angka ini, jelas dinamis. Meskipun gelar doktor bukan satu-satunya ukuran, namun faktor SDM tetap sebagai bagian yang sangat signifikan bagi upaya pencerahan pendidikan Islam.

Civil Effect Kebijakan Pendidikan Islam
Setiap kebijakan pendidikan termasuk kebijakan pendidikan Islam, pasti ada civil effectnya. Civil effect kebijakan yang ada, atau pernah ada, selain dilihat dari masa kebijakan diimplementasikan, sekaligus akan dilihat dari perspektif kebijakan mutakhir, untuk dilihat segi relevansinya, khususnya berdasarkan ketentuan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, antara lain menyangkut beberapa hal mendasar berikut:
Pertama, tentang kebijakan itu sendiri ynag menimbulkan optimisme terhadap prospek pendidikan Islam. Sejak Amandemen IV UUD 1945, khususnya Pasal 31 (10 Agustus 2002) dan disahkannya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (11 Juni 2003), regulasi kebijakan terasa lebih menjanjikan. Yang bisa dikemukakan, antara lain PP No. 19 Tahun 2005, PP No. 55 Tahun 2007, PMA No. 16 Tahun 2010, PMA No. 2 Tahun 2012, PMA No. 13 Tahun 2012, UU No. 12 Tahun 2012, dan ketentuan operasional lainnya. Semua kebijakan tersebut secara yuridis bukan hanya memberikan payung hukum, tetapi secara sosiologis dan politis mampu membangkitkan optimisme pendidikan Islam.
Kedua, terhadap orientasi belajar, khususnya kebijakan tentang pendidikan keterampilan di pondok pesantren, kebijakan tentang penyelenggaraan wajib belajar pendidikan dasar di pondok pesantren salafiyah, kebijakan tentang pondok pesantren muadalah dan kebijakan tentang standardisasi madrasah diniyah salafiyah dengan standar nasional pendidikan. Sepanjang sejarah kebijakan tersebut selalu direspons prokontra: menerima, atau menolak, atau menerima dengan syarat. Pro kontra akan terjadi karena dengan kebijakan tersebut orientasi belajar peserta didik akan mendua. Semula, mereka belajar semata-mata untuk tafaqquh fiddin, setelah kebijakan diimplementasikan berubah menjadi tafaqquh fiddin wad dun ya. Orientasi belajar yang mendua tersebut, akan menyebabkan konsentrasi belajar peserta didik juga mendua, tidak fokus, jarang yang kedua-dua, atau gagal salah satunya, atau bahkan gagal mendalami kedua-duanya. Orientasi belajar yang tidak fokus tersebut juga terjadi sebagai civil effect kebijakan SKB Tiga Menteri Tahun 1975. Meskipun memiliki segi positif sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan pada madrasah, tetapi menurut evaluasi dianggap gagal mengantarkan peserta didik melakukan tafaqquh fiddin, karena lulusannya dinilai setengah matang, baik penguasaan agama maupun umumnya. Lulusan yang setengah matang ini menjadikan lulusan madrasah selalu kalah, kalah penguasaan umumnya dengan sekolah umum, sehingga Prof. Munawir Sjadzali mengembangkan pilot project MAPK.
Ketiga, terhadap kelanjutan Studi, khususnya kebijakan SKB Tiga Menteri Tahun 1975 tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah. Dalam SKB tersebut pada intinya bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah agar tingkat mata pelajaran umum dari madrasah mencapai tingkat yang setara dengan pelajaran sekolah umum. Dengan demikian, akibat dari SKB ini: (1) Ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan sekolah umum; (2) Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas, dan (3) Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat (SKB 3 Menteri Tahun 1975 Pasal 2). Selain SKB Tiga Menteri Tahun 1975, juga kebijakan tentang penyelenggaraan wajib belajar pendidikan dasar di pondok pesantren salafiyah, kebijakan pondok pesantren tentang pondok pesantren muadalah dan kebijakan tentang standardisasi madrasah diniyah salafiyah dengan standar nasional pendidikan. Sebelum diundangkannya ketentuan tersebut para lulusan madrasah sangat terbatas kelanjutan studinya. Lulusan Madrasah Diniyah Ula (MDU) hanya bisa diterima di Madrasah Diniyah Wustha (MDW), dan lulusan MDW hanya bisa diterima di Madrasah Diniyah Ulya (MDU), dan sebagian MDU yang disetarakan bisa melanjutkan ke Mahad Aly/UIN/IAIN/STAIN/PTAIS. Setelah diberlakukan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan para lulusan Madrasah Diniyah tidak lagi terbatas untuk melanjutkan studi hanya di perguruan agama, tetapi sekaligus di perguruan umum. Artinya lulusan MDU bisa melanjutkan ke MDW/MTs/SMP dan yang sederajat. Lulusan Madrasah Diniyah Wustha juga dapat melanjutkan ke MDU/MA/SMA/SMK  dan yang sederajat. Selanjutnya, lulusan MDU juga dapat melanjutkan Perguruan Tinggi Agama Islam seperti UIN/IAIN/STAIN/PTAIS dan ke Perguruan Tinggi Umum negeri dan swasta.
Keempat, tentang peluang kerja lulusan. Sebelum diberlakukannya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, para lulusan madrasah diniyah tidak memiliki kesempatan peluang kerja, namun bagi madrasah diniyah yang disetarakan mempunyai kesempatan lapangan kerja yang terbatas, sesuai dengan pandangan orang tua memasukkan anaknya ke madrasah agar mereka memperoleh ilmu-ilmu agama atau tafaqquh fiddin, dan disinari jiwanya dengan agama tanpa mengaitkannya dengan lapangan kerja untuk hidup di masyarakat. Pandangan yang sedemikian akhir-akhir ini bergeser, di mana orang tua memasukan anaknya ke madrasah, di samping agar anak-anak mereka memperoleh ilmu pengetahuan agama juga menginginkan adanya civil effect dari ijazah yang mereka peroleh. Hal ini mestinya ditanggapi dan dicarikan pemecahannya, demi kelangsungan hidup Madrasah Diniyah dan demi kepentingan hari depan para lulusan Madrasah Diniyah. Keinginan untuk mengaitkan Madrasah Diniyah dengan lapangan kerja di masyarakat adalah sesuatu yang wajar karena Madrasah Diniyah dan masyarakat pada hakikatnya adalah dua sisi yang tidak bisa dipisahkan, Madrasah Diniyah membutuhkan dukungan masyarakat dan masyarakat membutuhkan dan mengimpikan Madrsah Diniyah eksis. Sebab itu, Madrasah Diniyah sedikitnya telah membantu menciptakan iklim keagamaan dan keteduhan dalam lingkungan dan kehidupan keluarga.

Era Baru dan Kebijakan Baru Pendidikan Islam
Era baru pendidikan Islam ini bisa dipahami dan dideteksi dari sejumlah indikator yang bersifat normatif dan operasional, yakni UUD 1945 hasil Amandemen IV, UU Sikdiknas secara historis, UU Perguruan Tinggi, Putusan MK, Peraturan Pemerintah, dan perubahan zaman yang cukup proporsional dan mulai memberikan pemihakan eksistensi pendidikan Islam, maka adanya kebijakan baru pendidikan Islam harus mempertimbangkan beberapa hal strategis sebagai berikut:
Pertama, hasil amandemen ke-4 UUD 1945 (10 Agustus 2002), pada Pasal 31 UUD 1945 ayat (3 dan 5) mengamanatkan : (3) pemerintah yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlah mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa diatur dengan undang-undang, dan (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Dari perspektif pendidikan Islam, norma ini cukup memberikan jaminan yang bisa mengawal prospek dan menjadi acuan kebijakan pendidikan Islam ke depan.
Kedua, secara historis, pasca kemerdekaan Indonesia telah mengalami tiga, yaitu: era orde lama, era orde baru, dan era reformasi. Setiap era, sebagai amanat UUD 1945, Indonesia telah melakukan perombakan secara sistemik sistem pendidikan nasionalnya, melalui pemberlakuan sejumlah undang-undang yang mengatur pendidikan nasional, seperti UU No. 4/1950 (UU No. 12/1954) adalah produk era orde lama, UU No. 2/1989 adalah produk era orde baru, dan UU No. 20/2003 adalah produk era atau orde reformasi. Dari perspektif pendidikan Islam (PAI, misalnya), dari waktu ke waktu ada tren menguat, dari ketentuan awal (UU No. 4/1950) belum diwajibkan (malah ditetapkan berdasar sukarela) menjadi diwajibkan (UU No. 2/1989 dan UU No. 20/2003). Dari diwajibkan dan menempati grade kedua setelah pendidikan pancasila, pendidikan agama selanjutnya adalah pendidikan kewarganegaraan (dalam UU No. 2/1989) menjadi diwajibkan dan pendidikan agama menempati grade pertama, selanjutnya diikuti pendidikan kewarganegaraan dan bahasa (dalam UU No. 20/2003), dan tren ke depan akan terus memberikan penguatan, seiring dengan kran demokratisasi yang mulai bersahabat. Yang juga menggembirakan adalah karena pesantren, pendidikan diniyah, dan majelis talim juga telah memperoleh pengakuan. Bahkan eksistensi pendidikan tinggi diniyah seperti Mahad Aly sudah diakui dalam UU No. 12 Tahun 2012, sehingga Perguruan Tinggi Khas Pondok Pesantren ini bisa mengembangkan Program Sarjana (S1), Program Magister (S2), dan Program Doktor (S3).
Ketiga, adanya keputusan MK yang sangat menguntungkan bagi pengembangan kualitas pendidikan, termasuk pendidikan Islam. MK telah tampil sebagai pengawal konstitusi sekaligus penafsir tunggal konstitusi, banyak putusan MK terkait sistem pendidikan nasional dan APBN dari perspektif UUD 1945, sehingga dari perspektif UUD 1945 penyelenggaraan pendidikan nasional, di mana pendidikan Islam sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional, akan ikut memberikan jaminan tidak berkembangnya kebijakan pendidikan dikotomik dan deskriminatif dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Bahkan Prof. Dr. Muhammad Nuh, DEA ketika ngobrol dengan penulis di Gedung Mahkamah Konstitusi (29-31 Januari 2010) dengan tugas menyatakan akan mengembangkan prinsip kebijakan non diskriminatif policy, penulis diminta untuk tetap kritis mengawal kebijakan pendidikan nasional.
Keempat, yang juga menggembirakan setelah diundangkannya UU No. 20 Tahun 2003 adalah diundangkannya PP No. 19 Tahun 2005 dan PP No. 55 Tahun 2007, kedua PP tersebut menjadi acuan operasional penyelenggaraan pendidikan, khususnya pendidikan Islam. Materi dan nilai-nilai pendidikan Islam semakin menguat. Pendidikan agama dan pendidikan keagamaan seperti pesantren, mahad aly, madrasah diniyah, TPA/TPQ, dan majelis talim diakui. Bahkan madrasah diniyah, dengan syarat-syarat tertentu juga memberikan harapan prospektif bagi pendidikan Islam ke depan, karena pendidikan keagamaan Islam (formal dan nonformal), khususnya pesantren, madrasah diniyah, majelis talim, TPQ/TPA, dan yang sederajat yang selama ini tidak diakomodasi dalam UU Sikdiknas sebelumnya, baru dalam UU No. 20 Tahun 2003 semuanya diakomodasi, yang berarti dalam proses ke dapan akan mendapatkan hak dan kewajiban yang sama untuk memberdayakan pendidikan Islam.

Kelima, yang masih menjadi masalah adalah bagaimana eksistensi pendidikan Islam yang telah kokoh secara normatif bisa sekaligus kokoh secara empirik dalam konteks perubahan zaman adalah penting, tetapi yang jauh lebih penting adalah bagaimana sumber daya pendidikan Islam diberdayakan, sehingga mampu berkompetisi dalam iklim perubahan yang sangat kompetitif tersebut. Jika sikap proaktif ini kita lakukan, maka Era Baru Pendidikan Islam berarti telah mulai didesain di beberapa daerah, karena otonomi daerah, pada hakikatnya bukan penghalang bagi kemajuan pendidikan Islam. Dua kebijakan baru, yakni Kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Kebijakan Pemerintah Provinsi Riau, penting disajikan, karena kebijakannya, selain strategis juga prospektif.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Sudut pandang perubahan kebijakan, masa depan pendidikan islam bisa dipahami dan dideteksi dari sejumlah indikator yang bersifat normatif dan operasional, yakni: hasil Amendemen IV UUD 1945, UU Sisdiknas secara historis, dan peraturan pemerintah yang cukup memberikan apresiasi positif  terhadap penguatan peran pendidikan Islam dan muncul harapan baru bagi pendidikan islam ke depan adalah diundangkannya PP No.55 tahun2007 tentang pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. PP ini menjadi acuan operasional penyelenggaraan pendidikan Islam.
Perubahan zaman, perubahan kebijakan, memiliki korelasi dengan keragaman tuntutan dan harapan masyarakat. Setiap perubahan tidak akan mengenal henti, kebijakan inovatif akan terus dilakukan dan tuntutan masyarakat akan terus muncul dengan keragamannya. Kenyataan ini yang mewarnai gerakan reformasi 1998. Salah satu tuntutannya ialah perlunya reformasi dalam bidang pendidikan. Tuntutan itu, akhirnya diwujudkan melalui Amendemen IV UUD 1945 (10 Agustus 2002) dan disahkannya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tanggal 11 juni 2003.
Setiap kebijakan pendidikan termasuk kebijakan pendidikan Islam, pasti ada civil effectnya. Civil effect kebijakan yang ada, atau pernah ada, selain dilihat dari masa kebijakan diimplementasikan, sekaligus akan dilihat dari perspektif kebijakan mutakhir, untuk dilihat segi relevansinya, khususnya berdasarkan ketentuan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
Era baru pendidikan Islam ini bisa dipahami dan dideteksi dari sejumlah indikator yang bersifat normatif dan operasional, yakni UUD 1945 hasil Amandemen IV, UU Sikdiknas secara historis, UU Perguruan Tinggi, Putusan MK, Peraturan Pemerintah, dan perubahan zaman yang cukup proporsional dan mulai memberikan pemihakan eksistensi pendidikan Islam.

Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah diatas dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di pertanggung jawabkan.
Semoga makalah yang kami buat dafat bermanfaat bagi kita semua yang membacanya. Kritik dan saran yang sifatnya membangun kami harapkan untuk masukan dalam pembuatan makalah selanjutnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sistem Imformasi Manajemen Pendidikan

Makalah  IMPLEMENTASI  SISTEM INFORMASI MANAJEMEN PENDIDIKAN Mata Kuliah : Sistem Informasi Manajemen Pendidikan Dosen Pembimbing :...